Terapi Wicara untuk Anak Speech Delay..., perlu kah?


Please be remind, ini hanya opini saya pribadi berdasarkan pengalaman saya menjalani hari-hari dengan si cantik ndut Leonie yang ketika 2 thn 2 bln divonis speech delay. Jika anda adalah therapist, psikolog anak, dokter neuro anak dan tidak sepaham dengan pendapat saya, silahkan saja. 

Jadi ceritanya begini...

Satu-satunya anak kami, Leonie genap 2 thn di tanggal 2 Agustus 2013. Tidak ada keanehan darinya, semua terlihat baik-baik saja, gemuk, lucu, dan aktif. Hingga ketika seminggu lewat dari ulang tahunnya, saya merasa aneh ketika sepupunya bisa merespon pertanyaan, dan merepetisi omongan kita dengan baik. Berbeda dengan Leonie yang hanya bisa menunjuk dan membeo tdk jelas dan belum bisa memanggil mama atau papa. 

Panik, saya bawa leonie check up ke dsa-nya dan disana dilakukan assessment dasar untuk mengetahui perkembangannya yang dilakukan oleh perawat di rs tsb. 

Hasilnya? Semua baik, responsif, motorik kasar dan halusnya juga baik, pemahaman bentuk, nama binatang, alat transportasi, dll juga baik. Menurut dsanya, sepertinya Leonie termasuk anak kategori "speech delay". Dan direkomendasikan bertemu dengan dokter spesialis tumbuh kembang anak untuk diuji kembali. 

Panik... saya browsing di internet, rekomendasi para moms untuk anak speech delay dimana saja. Mengerucutlah pilihan ke klinik di kebayoran lama yang katanya sangat terkenal dan jadi rujukan anak2 "istimewa". Saya telpon... dan surprisingly, untuk jadwal konsultasi dengan dokter ada di sebulan kemudian. Saya oke-in saja. Tapi khawatir dengan waktu yang ada, saya cari-cari lagi dan akhirnya ada mom yang punya pengalaman ke klinik TKA di  RS Pondok Indah. Jadwal konsultasi gak perlu nunggu sebulan, saya langsung bisa bawa leonie ke ortopedadog (bukan dokter, tpi psikolog) yang menguji leonie, dan sama... kesimpulannya adalah speech delay. Lalu dianjurkan untuk terapi wicara dua kali seminggu selama sejam. 
Dan tidak dianjurkan untuk sekolah (preschool, dsb) dulu. 

Saya tidak mau kelewatan kehilangan waktu sia-sia, akhirnya saya daftarkan leonie untuk TW di hari Senin dan Rabu setiap jam 8 pagi. 

Saya seorang ibu pekerja dengan waktu kerja yang normal namun jarak tempuh kantor - rumah - kantor, in total selama 4 jam lebih. Berangkat jam 6.30, sampai rumah jam 9 malam. Saya akui, sangat kurang waktu dengan anak. 

Beruntung saya memiliki atasan yang baik dan memberikan kelonggaran jam masuk kerja setiap senin dan rabu. Jadi setiap hari2 tsb, saya antar leonie terapi, lalu brkt kantor. Selesai terapi, leonie pulang dengan Ompungnya.  Terapi leonie dimulai awal oktober.. 

Terapis Leonie sangat baik dan sangat sabar. Selesai session, perkembangan leonie dilaporkan ke kami orang tuanya dengan catatan yang rapih di buku raport dan secara lisan kepada kami. Walaupun blm ada perkembangan, saya puas dan tidak ada komplen dengan terapisnya. 

Kemudian, hari konsultasi dengan klinik pun tiba. kebetulan mama mertua lagi datang dari Bontang. Beliau pun ikut mendampingi saya dan leonie. Di klinik tsb, kami bertemu tidak hanya dengan dokter, tetapi dengan psikolog jg. 

Proses konsultasi tdk lama, leonie hanya diberikan gambar2, ditanya nama binatang, motor, mobil, truk... leonie bisa menunjuk dengan benar. Tapi ketika ditanya balik, dia hanya tersenyum dan menolak menjawab, malah beralih ke mainan lainnya. Dokter dan terapis langsung menganjurkan terapi Sensori Integrasi dan Terapi Wicara. Dua terapi secara rutin. Tapi untuk pertama kali, harus ikut Sensory integration assessment. Oh iya, saya juga ditanya apakah sudah terapi sebelumnya, saya bilang sudah di rs tsb. Dokter dan psikolog beradu pandang dan bertanya apakah ke Ibu xxx, si ortopedadog. Saya bilang iya. Dan saya tidak nyaman dengan cara mereka  bertanya. As if, si ibu ortopedadog tsb bukanlah rekomendasi yang tepat. 

Di klinik tsb, banyak anak-anak "khusus" yang menurut saya, memang perlu terapi khusus. Tapi menurut saya, anak saya tidak perlu terapi sebanyak itu. Feeling saya terusik. Tapi jika tidak diikuti dan dibuktikan, saya tidak boleh membuat kesimpulan.  Jadi saya ikuti saja dulu

Di hari assessment, masih ditemani mama mertua, leonie masuk ke ruangan SI yang isinya berbagai permainan untuk mengolah motorik anak, kasar dan halus. Ada juga balok panjang seperti ayunan untuk menguji keseimbangan anak, dsb.

Leonie bisa merespon bola yang dilempar terapis, bisa memasukan donat2an dengan baik, bisa jalan diantara balok, dll. Dia hanya tidak suka dengan balok ayunan, walaupun saya membantunya. 


Hanya sebentar, lalu si terapis mengajak saya untuk ke ruangannya untnuk kemudian saya ditanya2 tentang perkembangan anak ini. Dan cara bertanyanya, template banget, urut2annya, jenis pertanyaan, dsb.. persis sama seperti yang saya baca.

Karena sebelum datang ke assessment, saya sudah browsing banyak tentang SI ini. Dan again, merasa tidak nyaman dengan assessment ini. 

Menurut saya, Leonie tidak ada masalah dengan respon, motorik kasar/halusnya. Anak saya hanya belum bisa bicara, bukan kelainan lainnya. Sudah bisa buka baju, celana sendiri, makan pakai sendok sendiri, garpu, sumpit, paham semuanya, dll. Emosinya juga stabil, tidak suka trantum semaunya, suka mengalah. Hanya confidence levelnya yang masih belum. tapi menurut saya wajar untuk anak usia 2 thn malu2, merasa tidak nyaman dengan orang baru, atau lingkungan baru. 


Saya berdebat dengan terapisnya yang dengan seenaknya menghakimi leonie dengan hanya melihat leonie selama 20 menit saja. Saya tersinggung jika anak saya disamakan dengan anak-anak lain yang didiagnosa hampir autis. Anak ini hanya belum bicara, kok!
Saya bukannya sok pintar tapi i'm not stupid. 

Tapi saya ikuti saja terapi seminggu sekali di kelas Terapi Sensori Integrasi dan Terapi Wicara. 

Dan saya... tidak puas dengan terapisnya. 

Sangat berbeda dengan terapis leonie sebelumnya yang sangat komunikatif menjelaskan apa saja yang diajarkan ke leonie, dan bagaimana analisa perkembangan Leonie. Terapis di klinik ini menurut saya tidak komunikatif, tidak menjelaskan ke kami. Seakan-akan mereka melakukannya sekedar pekerjaan, tidak mendalami anak tsb. Tidak berusaha establish bonding dengan anak. Dan lebih mengesalkan lagi, sang terapis di klinik tsb, pasti gantian tdk available. Minggu ini terapis SI yg tidak ada, minggu berikutnya terapis TW yang tidak ada. 

Beberapa kali pertemuan saja... hingga datanglah bulan desember. Saya hanya datang 1 x pertemuan saja di bln desember, minggu2 berikutnya saya cuti panjang utk pulang ke rmh mertua di bontang utk liburan natal dan tahun baru. 

Berakhirlah terapi di klinik tsb. 

Di bontang, mama mertua usahakan agar terapi leonie tdk berhenti. Kami ke RS Pupuk kaltim dan mendapatkan jadwal dengan terapis dan hanya bisa 4 x pertemuan saja, hampir setiap hari namun dipotong liburan natal dan weekend. 

Sang terapis, sangaaaat ramaaah, baiknya bukan main ke Leonie. Di sana leonie dianggap spt di rumah sendiri, bebas melakukan apa saja dan tidak dilarang. Dan saya senang dengan perkembangan yang sangat cepat (menurut saya). Leonie akhirnya bisa mengucap mama dengan jelas. 

Pulang ke Jakarta, saya tidak meneruskan terapi di klinik tsb. Alih2, saya akhirnya meneguhkan hati memasukkan leonie ke day care yang ada preschoolnya di pagi hari. Lokasi day care jg di belakang kantor, jadi bisa di tengok sesekali.

Ini minggu ke dua Leonie di day care. So far, kata mama-papa sudah dikuasai, mengikuti omongan kita juga sudah bisa walaupun masih kacau dan tdk sepenuh hati. Tapi saya bersabar dan sangat yakin, dia akan bisa bicara dengan jelas ... pada waktunya. Dia hanya belum mau bicara.

Menjadi seorang ibu atau orang tua, adalah pembelajaran untuk diri saya sendiri. Prinsip saya, sebelum berniat untuk mengubah orang lain, ubahlah dirimu sendiri. And i applied that to my self. 

Dari hal ini, saya belajar 2 hal.
  1. Meluangkan waktu lebih banyak untuk Leonie. Jika dulu saya sibuk dengan diri saya, dengan hp, tab, dan laptop, pekerjaan... Kini saya selalu meluangkan waktu untuk dia. Saat nonton tv, saya temani, saya ajak dia merespon tontonan, jadi tidak hanya terfokus ke tv. Saat bermain, saya berinteraksi dengannya. Believe it or not. I took two weeks leave to fully taking care leonie from the moment she wake up to her sleeping time. And it didn't need thousands hundreds rupiah per sessions as i used to spent for her therapy sessions. It only needs patience, caring, and love. Stimulus dari orang tua lebih berdampak signifikan daripada stimulus dari orang lain.
  2. Use your heart, feeling, intuition rather than brain, logic or rationale when its related with your child. You are the only person who understand much about your child. You know it. You can feel it. Be wise in collecting advises from the internet. Trust more your heart, less the others. 

Saya sampai tidak bisa menghitung berapa banyak rupiah yang sudah saya keluarkan agar Leonie bisa berbicara. Money can't buy anything, kok. If you are a mother just like me, who once love her career than else, please... instead of blaming the situation, work, people, etc... reflect first to yourself. If the case became serious, please focus on your child, prioritize him/her above everything, Above your career, your income, your life. 



update perkembangan onie klik disini... dan disini dan disini

Comments

Popular posts from this blog

Terapi Wicara untuk Anak Speech Delay..., perlu kah?

Doa berkat dari tulang (pasu-pasu ni tulang) - a batak tradition

Speech Delay - i've passed this challenge