Kisah Lara

Sejak rencana penangkapan ibu kandungnya mulai disusun, kondisi psikologis Lara terguncang hebat.

Batinnya berada pada dua kutub perasaan yang mendasari pilihan sikap yang saling bertentangan: satu sisi ingin melepaskan diri dari eksploitasi seks yang dimotori ibu kandungnya, di sisi lain sebagai anak dia merasa ”wajib” untuk berbakti.

”Apakah perbuatan saya ini berdosa, Bu?” tanya Lara kepada Kepala Unit Remaja Kejahatan dan Anak (Renakta) pada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Sri Suari beberapa waktu lalu.

Pertanyaan itu diajukan di saat polisi tengah meyakinkan keluarga besar Kh (44)—ibu kandung Lara dan saudara-saudara Lara. Di tengah pemahaman subkultur dari adat ketimuran yang begitu tunduk pada seorang ibu, pertanyaan yang diajukan Lara tentu tidak bisa dijawab dengan mudah.

Apalagi ketika pemahaman tentang keberbaktian itu begitu merasuk ke dalam setiap relung hati dan tingkah laku serta berbuatan Lara sejak kecil, baik karena pengaruh lingkungan maupun karena keyakinannya.

Karena itu, sangat bisa dipahami kemudian, ketika Lara mengajukan pertanyaan itu kepada Sri.

Dengan kemampuannya berargumentasi, didukung komitmennya yang sungguh-sungguh dalam memberantas kasus trafficking, membuat jalan keluar pun terbuka.

Lara akhirnya bersepakat untuk memainkan ”peran baru” bersama polisi menjebak ibunya.

”Tapi, kesedihan tetap dia rasakan. Buktinya, menjelang dilakukan penangkapan, pada saat makan di sebuah rumah makan di kawasan Ciputat (Jakarta Selatan), Lara tak doyan makan. Hatinya masih bimbang antara ’berdosa’ dan rasa ingin bebas dari eksploitasi seks,” cerita Sri.

Tak mau mengakui

  • Peristiwa menegangkan sempat terjadi tak lama setelah Kh ditangkap dan menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya.

Kakak lelaki pertama Lara masih bisa menahan diri dan tetap bersikap tegar untuk konsisten pada pendiriannya bahwa ibunya harus dihukum.

Akan tetapi, pemahaman yang berbeda ditunjukkan kakak kedua Lara. Begitu melihat ibunya, lelaki itu langsung bersujud di depan orangtuanya. Seakan dia ingin menegaskan bahwa apa yang dia lakukan bersama Lara dan kakaknya adalah sebuah dosa besar meskipun sesungguhnya Kh telah tega menjual anaknya sendiri menjadi pelacur.

Tak kalah kerasnya sikap Kh. Meski diyakini dia menjual kegadisan anak kandungnya sendiri kepada lelaki hidung belang, dengan suara lantang dia menyumpahi anak-anaknya yang dinilai tidak berbakti pada dirinya. ”Awas nanti kalau saya sudah keluar, saya tidak akan pernah mengakui lagi kalian sebagai anak,” kata Kh seperti dikutip Sri.

Untuk kesekian kalinya, Sri harus kembali memberikan pemahaman kepada mereka bahwa setiap perbuatan melanggar hukum harus diberi sanksi. Eksploitasi anak tidak dibenarkan karena itu melanggar undang-undang. Oleh karena itu, Kh harus diproses.

Kalau dia dibiarkan, kata Sri ketika itu, dikhawatirkan akan banyak anak dan remaja lain yang diperjualbelikan ibu kandungnya sendiri dengan berbagai alasan.

Sekaranglah saatnya bagi semua—termasuk mereka tentunya—untuk menghentikan perbuatan semacam itu.

Tidak ada penyesalan

  • Meskipun bukti-bukti telah kuat menunjuk Kh sebagai tersangka, hingga Jumat malam belum ada tanda penyesalan yang nyata dari Kh.

Ketika ditanyakan alasan mengapa menjual anaknya sendiri menjadi pelacur, Kh dengan ringan mengatakan karena dia sudah bosan menjalani hidup susah.

Meskipun demikian, ketika didesak dengan pertanyaan lagi apakah dengan perbuatannya itu justru tidak akan membuat kesusahan—terutama bagi anaknya, Lara—dengan enteng Kh balik bertanya, ”Siapa bilang anak saya susah?” Mungkin Kh berbohong, atau memang dia tidak pernah mau tahu perasaan dan penderitaan anaknya.

Lara—bukan nama sebenarnya—dengan sengaja dijual ibu kandungnya sebagai pelacur sejak kelas II SMP hingga kelas II SMEA.

Awalnya dengan dalih untuk membayar utang, tetapi belakangan terungkap kalau uang hasil penjualan dimanfaatkan antara lain untuk membeli televisi, kasur, dan barang-barang konsumtif lain. Lara tengah menderita gara-gara ibunya tak tahan hidup susah.

Masihkah keberbaktian seorang Lara pada ibunya harus tetap dituntut mutlak ketika pada saat yang sama ibunya tak bisa menunjukkan kasih sayangnya? Ini menarik untuk direnungkan, setidaknya bagi orangtua.

Comments

Popular posts from this blog

Terapi Wicara untuk Anak Speech Delay..., perlu kah?

Doa berkat dari tulang (pasu-pasu ni tulang) - a batak tradition

Speech Delay - i've passed this challenge